KUTAIPANRITA.ID – Untuk menjaga dan mempertahankan kehidupan adat serta tradisi yang berharga, masyarakat Dayak Benuaq yang bertempat tinggal di Kelurahan Loa Ipuh, Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar) dengan tekun dan konsisten menyelenggarakan upacara pernikahan sesuai dengan adat dan tradisi setempat yang telah diwariskan secara turun temurun.
Prosesi pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak Benuaq ini diperlihatkan dengan penuh kegembiraan dan dihiasi dengan beragam tarian dan musik khas Dayak yang memukau hati.
Sebelum pelaksanaan prosesi pernikahan adat dilakukan di tempat acara yang telah disiapkan, calon pengantin bersama keluarga dekat mereka berkumpul terlebih dahulu di depan rumah.
Memastikan semua anggota keluarga hadir secara lengkap, calon pengantin beserta kerabat keluarga melangkah bersama-sama menuju lokasi pernikahan dengan diiringi tarian dan musik khas Dayak Benuaq yang menambah semarak dan keindahan suasana perayaan tersebut.
Momen ini menjadi awal dari rangkaian acara pernikahan yang akan mereka rayakan dengan penuh kebahagiaan dan kenangan indah yang akan dikenang sepanjang hayat.
Tarian ini sendiri dalam bahasa daerah disebut “ngeleway”, yang merupakan sebuah pertunjukan tari yang memikat yang menjadi tradisi unik yang diwariskan oleh suku Dayak Benuaq di mana didapatkan penari-penari dari kelompok gadis-gadis cantik yang memancarkan kegembiraan dan keceriaan.
Ketika memasuki lokasi acara, baik kedua mempelai maupun anggota keluarga segera masuk ke dalam dan menuju tempat di mana prosesi pernikahan adat akan berlangsung.
Sebelum prosesi pernikahan adat dimulai, kedua mempelai akan diberikan wejangan penting oleh seorang individu yang akan menyuarakan nasehat-nasehat tersebut melalui nyanyian atau dalam bahasa daerahnya yang disebut “rijok”.
Setelah mendapatkan nasehat, kemudian perwakilan dari mempelai laki-laki dengan penuh rasa hormat menyerahkan sebuah piring putih kepada kepala adat, atau dalam bahasa daerah dikenal sebagai nyerah jogo bura. Prosesi penyerahan piring putih ini memiliki makna yang mendalam, karena melambangkan bahwa pernikahan adat akan segera dilaksanakan dan kepala adat berperan sebagai saksi atas upacara yang akan terjadi.
Tindakan ini menjadi sebuah simbolisasi yang kuat, yang menunjukkan adanya komitmen dan persetujuan dari keluarga mempelai laki-laki terhadap pernikahan tersebut.
Selain itu, kepala adat juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa upacara berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tradisi yang telah ditetapkan.
Dengan menerima piring putih ini, kepala adat secara sukarela menunjukkan bahwa dia bersedia mendukung dan melindungi proses pernikahan adat ini.
Kemudian, pawang pernikahan adat membacakan “paper poer jomit burai” di depan kedua mempelai dan keluarga untuk memberitahukan prosesi pernikahan adat akan segera berlangsung. Tujuan prosesi ini juga agar kedua mempelai tidak diganggu selama menjalani pernikahan adat.
Dalam kepercayaan masyarakat Dayak Benuaq, pengganggu disebut “britu” atau penggoda kehidupan yang dapat merusak hubungan rumah tangga. Prosesi paper poer jomit burai ini wajib dilaksanakan untuk menghindari penggoda kehidupan dalam rumah tangga.
Setelah prosesi, kedua mempelai mendapatkan ritual membuang dan memakan ketan dari pawang pernikahan. Prosesi selanjutnya, pawang pernikahan memberikan bedak dan mengusapkan telur kepada kedua mempelai. Setelah itu, kedua mempelai mendengarkan nasehat pernikahan, disebut “tisa”, dari perwakilan keluarga perempuan maupun laki-laki.
Setelah pemberian nasehat, kedua mempelai dan keluarga bersama tamu undangan dihibur dengan tarian ngeleway yang diiringi musik khas yang dipersembahkan oleh gadis cantik Dayak Benuaq.
Kepala adat bersama keluarga kedua mempelai menandatangi surat pernikahan adat yang dikeluarkan oleh pemangku adat Dayak Benuaq Loa Ipuh sebagai tanda disahkannya upacara.
Dikatakan Kepala Adat Dayak Benuaq Loa Ipuh Ipong Dalle, meski pernikahan itu sah serta sudah mendapatkan surat pernikahan melalui hukum adat, namun kedua mempelai pun diwajibkan melaksanakan pernikahan sesuai undang-undang yang ada dan menurut agama yang dianut.
Usai upacara penandatangan surat, kemudian prosesi adat ini dilanjutkan dengan pembacaan mantra dari pawang pernikahan.
“Pembacaan mantra dari pawang pernikahan itu sendiri, memberitahukan kepada mahluk yang tak terlihat bahwa prosesi adat sudah dinyatakan selesai. Selanjutnya dilakukan prosesi makan bersama atau dalam bahasa daerahnya muka larunt, untuk menyantap hidangan yang telah di sediakan,” jelasnya.
Ditambahkan Ipong Dalle, makan bersama atau muka larunt ini sebagai penutup prosesi pernikahan adat, dimana kedua mempelai berserta kerabat keluarga dan tamu undangan duduk bersama menyantap hidangan tersebut dengan suka cita.(adv/disparkaltim/al/fz)